Sesugguhnya banyak sekali para Ulama’ yang mengikuti jejak Rosulullah SAW, untuk hidup seadanya dan tidak tamak, tapi kami disini akan membahas siapa saja yang terkenal sebagai pakar ilmu tasawuf :
A.Tokoh-tokoh Ilmu Tasawuf klasik :
Tokoh-tokoh ilmu tasawuf yang tersohor pada zaman dahulu adalah :
- Ibn Athaillah as Sakandary
Nama
lengkapnya Ahmad ibn Muhammad Ibn Athaillah as Sakandary (w. 1350M),
dikenal seorang Sufi sekaligus muhadits yang menjadi faqih dalam madzhab
Maliki serta tokoh ketiga dalam tarikat al Syadzili. Penguasaannya akan
hadits dan fiqih membuat ajaran-ajaran tasawufnya memiliki landasan nas
dan akar syariat yang kuat. Karya-karyanya amat menyentuh dan diminati
semua kalangan, diantaranya Al Hikam, kitab ini ditujukan untuk
meningkatkan kesadaran spiritual di kalangan murid-murid tasawuf. Kitab
lainnya, Miftah Falah Wa Wishbah Al Arwah (Kunci Kemenangan dan Cahaya
Spiritual), isinya mengenai dzikir, Kitab al Tanwir Fi Ishqat al Tadhbir
(Cahaya Pencerahan dan Petunjuk Diri Sendiri), yang disebut terakhir
berisi tentang metode madzhab Syadzili dalam menerapkan nilai Sufi, dan
ada lagi kitab tentang guru-guru pertama tarekat Syadziliyah - Kitab
Lathaif Fi Manaqib Abil Abbas al Mursi wa Syaikhibi Abil Hasan.
- Al Muhasibi
Nama
lengkapnya Abu Abdullah Haris Ibn Asad (w. 857). Lahir di Basrah. Nama
"Al Muhasibi" mengandung pengertian "Orang yang telah menuangkan karya
mengenai kesadarannya". Pada mulanya ia tokoh muktazilah dan membela
ajaran rasionalisme muktazilah. Namun belakangan dia meninggalkannya dan
beralih kepada dunia sufisme dimana dia memadukan antara filsafat dan
teologi. Sebagai guru Al Junaed, Al Muhasibi adalah tokoh intelektual
yang merupakan moyang dari Al Syadzili. Al Muhasibi menulis sebuah karya
"Ri'ayah Li Huquq Allah", sebuah karya mengenai praktek kehidupan
spiritual.
- Abdul Qadir Al Jilani (1077-1166)
Beliau adalah
seorang Sufi yang sangat tekenal dalam agama Islam. Ia adalah pendiri
tharikat Qadiriyyah, lahir di Desa Jilan, Persia, tetapi meninggal di
Baghdad Irak. Abdul
Qadir mulai menggunakan dakwah Islam setelah berusia 50 tahun. Dia
mendirikan sebuah tharikat dengan namanya sendiri. Syeikh Abdul Qadir
disebut-sebut sebagai Quthb (poros spiritual) pada zamannya, dan bahkan
disebut sebagai Ghauts Al Azham (pemberi pertolongan terbesar), sebutan
tersebut tidak bisa diragukan karena janjinya untuk memperkenalkan
prinsip-prinsip spiritual yang penuh kegaiban. Buku karangannya yang
paling populer adalah Futuh Al Ghayb (menyingkap kegaiban).
Melalui Abdul Qadir tumbuh gerakan sufi melalui bimbingan guru tharikat (mursyid). Jadi Qadiriyah adalah tharikat yang paling pertama berdiri.
Melalui Abdul Qadir tumbuh gerakan sufi melalui bimbingan guru tharikat (mursyid). Jadi Qadiriyah adalah tharikat yang paling pertama berdiri.
- Al Hallaj
Nama
lengkapnya Husayn Ibn Mansyur Al Hallaj (857-932), seorang Sufi Persia
dilahirkan di Thus yang dituduh Musyrik oleh khalifah dan oleh para
pakar Abbasiyah di Baghdad oleh karenanya dia dihukum mati. Al Hallaj
pertama kali menjadi murid Tharikat Syeikh Sahl di Al Tutsari, kemudian
berganti guru pada Syeikh Al Makki, kemudian mencoba bergabung menjadi
murid Al Junaed Al Baghdadi, tetapi ditolak.
Al Hallaj terkenal karena ucapan ekstasisnya "Ana Al Haqq" artinya Akulah Yang Maha Mutlak, Akulah Yang Maha Nyata,bisa juga berarti "Akulah Tuhan", mengomentari masalah ini Al Junaid menjelaskan "melalui yang Haq engkau terwujud", ungkapan tersebut mengandung makna sebagai penghapusan antara manusia dengan Tuhan. Menurut Junaid " Al Abd yahqa al Abd al Rabb Yahqa al Rabb" artinya pada ujung perjalanan "manusia tetap sebagai manusia dan Tuhan tetap menjadi Tuhan". Pada jamannya Al Hallaj dianggap musrik, akan tetapi setelah kematiannya justru ada gerakan penghapusan bahkan Al Hallaj disebut sebagai martir atau syahid. Sampai sekarang Al Hallaj tetap menjadi teka-teki atau misteri karena masih pro dan kontra.
Al Hallaj terkenal karena ucapan ekstasisnya "Ana Al Haqq" artinya Akulah Yang Maha Mutlak, Akulah Yang Maha Nyata,bisa juga berarti "Akulah Tuhan", mengomentari masalah ini Al Junaid menjelaskan "melalui yang Haq engkau terwujud", ungkapan tersebut mengandung makna sebagai penghapusan antara manusia dengan Tuhan. Menurut Junaid " Al Abd yahqa al Abd al Rabb Yahqa al Rabb" artinya pada ujung perjalanan "manusia tetap sebagai manusia dan Tuhan tetap menjadi Tuhan". Pada jamannya Al Hallaj dianggap musrik, akan tetapi setelah kematiannya justru ada gerakan penghapusan bahkan Al Hallaj disebut sebagai martir atau syahid. Sampai sekarang Al Hallaj tetap menjadi teka-teki atau misteri karena masih pro dan kontra.
B.Tokoh-tokoh Tasawuf Moderat dan Ajarannya
Tasawuf
Sunni (moderat) yaitu tasawuf yang benar-benar mengikuti Al-qur’an dan
Sunnah, terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan-batasan keduanya,
mengontrol prilaku, lintasan hati serta pengetahuan dengan neraca
keduanya. Sebagaimana ungkapan Abu Qosim Junaidi al-Bagdadi: “Mazhab
kami ini (Tasawuf) terikat dengan dasar-dasar Al-qur’an dan Sunnah”,
perkataannya lagi: “Barang siapa yang tidak hafal (memahami) Al-qur’an
dan tidak menulis (memahami) Hadits maka orang itu tidak bisa dijadikan
qudwah dalam perkara (tarbiyah tasawuf) ini, karena ilmu kita ini
terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.”. Tasawuf ini diperankan oleh kaum
sufi yang mu’tadil (moderat) dalam pendapat-pendatnya, mereka mengikat
antara tasawuf mereka dan Al-qur’an serta Sunnah dengan bentuk yang
jelas. Boleh dinilai bahwa mereka adalah orang-orang yang senantiasa
menimbang tasawuf mereka dengan neraca Syari’ah.
Tasawuf
ini berawal dari zuhud, kemudian tasawuf dan berakhir pada akhlak.
Mereka adalah sebagian sufi abad kedua, atau pertengahan abad kedua, dan
setelahnya sampai abad keempat hijriyah. Dan personal seperti Hasan
Al-Bashri, Imam Abu Hanifa, al-Junaidi al-Bagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri
as-Saqeti, al-Harowi, adalah merupakan tokoh-tokoh sufi utama abad ini
yang berjalan sesuai dengan tasawuf sunni. Kemudian pada pertengahan
abad kelima hijriyah imam Ghozali membentuknya ke dalam format atau
konsep yang sempurna, kemudian diikuti oleh pembesar syekh Toriqoh.
Akhirnya menjadi salah satu metode tarbiyah ruhiyah Ahli Sunnah wal
jamaah. Dan tasawuf tersebut menjadi sebuah ilmu yang menimpali
kaidah-kaidah praktis.
Tasawuf
ini juga dinamakan tasawuf nazhori (teori), demikian, karena tasawuf
Islam terbagi kepada nazhari dan amali (praktek). Dan hal ini tidak
berarti bahwa tasawuf nazhori ini kosong dari sisi praktis. Istilah
teori ini hanya melambangkan bahwa tasawuf belum menjadi bentuk thoreqoh
(tarbiyah kolekltif) secara terorganisir seperti toreqoh yang terjadi
sekarang ini.
1. A. Junaid Al-Baghdadi
Nama
lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz
al-nihawandi. Dia adalah seorang putera pedagang barang pecah belah dan
keponakan Surri al-Saqti serta teman akrab dari Haris al-Muhasibi. Dia
meninggal di Baghdad pada tahun 297/910 M. dia termasuk tukoh sufi yang
luar biasa, yang teguh dalam menjalankan syari`at agama, sangat mendalam
jiwa kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih, sering memberi
fatwa sesuia apa yang dianutnya, madzhab abu sauri: serta teman akrab
imam Syafi`i.
Dikatakan
bahwa para sufi pada masanya, al-junaid adalah seorang sufi yang
mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara
mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana`. Karena itulah dia
digelari Imam Kuam Sufi (Syaikh al-Ta`ifah); sementara al-Qusayiri di
dalam kitabnya al-Risaalah al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh dan Imam
kaum Sufi. Asal-usul al-Junaid berasal dari Nihawan. Tetapi dia lahir
dan tumbuh dewasa di Irak. Tentang riwayat dan pendidikannya, al-junaid
pernah berguru pada pamannya Surri al-Saqti serta pada Haris bin `Asad
al-muhasibi.
Kemampuan al-Junaid untuk menyapaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh pamannya, sekaligus gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini terbukti pada kepercayaan gurunya dalam memberikan amanat kepadanya untuk dapat tampil dimuka umum.
Al-Junaid dikenal dalam sejarah atsawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-qusyairi: “oang-orang yang mengesakan Allah adalah mereka yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, dia tidak beranak dan diperanakkan.
Di sini memberikan pengertian tauhid yang hakiki. Menurutnya adalah buah dari fana` terhadap semua yang selain Allah. Dalam hal ini dia menegaskan
Al-Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “allah akan menyebabkan mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana`, sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani “segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (QA. 55:26-27); dan hidup dan hidup dalam sebutannya baqa`. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya. Disamping al-Junaid menguraikan paham tauhid dengan karakteristik para sufi, dia juga mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya.
Kemampuan al-Junaid untuk menyapaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh pamannya, sekaligus gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini terbukti pada kepercayaan gurunya dalam memberikan amanat kepadanya untuk dapat tampil dimuka umum.
Al-Junaid dikenal dalam sejarah atsawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-qusyairi: “oang-orang yang mengesakan Allah adalah mereka yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, dia tidak beranak dan diperanakkan.
Di sini memberikan pengertian tauhid yang hakiki. Menurutnya adalah buah dari fana` terhadap semua yang selain Allah. Dalam hal ini dia menegaskan
Al-Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “allah akan menyebabkan mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana`, sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani “segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (QA. 55:26-27); dan hidup dan hidup dalam sebutannya baqa`. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya. Disamping al-Junaid menguraikan paham tauhid dengan karakteristik para sufi, dia juga mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya.
2. B. Al-Qusyairi An-Naisabury
Dialah
Imam Al-Qusyary an-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima
hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya
adalah Abdul Karim al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn
Abdul Malik ibn Thalhah ibn Muhammad. Ia lahir di Astawa pada Bulan
Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M.
Sedikit sekali informasi penulis dapat yang menerangkan tentang masa kecilnya. Namun yang jelas, dia lahir sebagai yatim. Bapaknya meninggal dunia saat usianya masih kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab pendidikan diserahkan pada Abu al-Qosim al-Yamany. Ketika beranjak dewasa, Al-Qusyairy melangkahkan kaki meninggalkan tanah kelahiran menuju Naisabur, yang saat itu menjadi Ibukota Khurasan. Pada awalnya, kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari matematika. Hal ini dilakukan karena Al-Qusyairy merasa terpanggil menyaksikan penderitaan masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat itu. Dengan mempelajari matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas penarik pajak dan meringankan kesulitan masyarakat saat itu.
Naisabur merupakan kota yang menyimpan peluang besar untuk perkembangan berbagai macam disiplin ilmu, karena banyak kaum intelektual yang hidup disana. Di kota inilah, untuk pertama kalinya Al-Qusyairy bertemu bertemu Sheikh Abu ‘Ali Hasan ibn ‘Ali an-Naisabury, yang lebih dikenal dengan panggilan Ad-Daqqaq. Pertemuan itu menyisakan kekaguman Al-Qusyairy pada peryataan-pernyataan Ad-Daqqaq. Perlahan, keinginannya mempelajari matermatika pun hilang. Ia pun memilih jalan tarekat dengan belajar dari Ad-Daqqaq. Berawal dari sinilah, Al-Qusyairy mengenal Tasawuf. Al-Daqqaq merupakan guru pertama Al-Qusyairy dalam bidang Tasawuf. Dari ia pula Al-Qusyairy mempelajari banyak hal, tidak hanya terbatas Tasawuf, tetapi juga ilmu-ilmu keislaman yang lain. Al-Qusyairy mampu memahami dengan baik semua pengetahuan yang diajarkan gurunya. Dari sinilah Ad-Daqqaq menyadari kemampuan intelektual Al-Qusyairy. Mungkin, hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong inisiatif Ad-Daqqaq untuk menikahkan putrinya, Fatimah dengan Al-Qusyairy.
Sedikit sekali informasi penulis dapat yang menerangkan tentang masa kecilnya. Namun yang jelas, dia lahir sebagai yatim. Bapaknya meninggal dunia saat usianya masih kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab pendidikan diserahkan pada Abu al-Qosim al-Yamany. Ketika beranjak dewasa, Al-Qusyairy melangkahkan kaki meninggalkan tanah kelahiran menuju Naisabur, yang saat itu menjadi Ibukota Khurasan. Pada awalnya, kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari matematika. Hal ini dilakukan karena Al-Qusyairy merasa terpanggil menyaksikan penderitaan masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat itu. Dengan mempelajari matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas penarik pajak dan meringankan kesulitan masyarakat saat itu.
Naisabur merupakan kota yang menyimpan peluang besar untuk perkembangan berbagai macam disiplin ilmu, karena banyak kaum intelektual yang hidup disana. Di kota inilah, untuk pertama kalinya Al-Qusyairy bertemu bertemu Sheikh Abu ‘Ali Hasan ibn ‘Ali an-Naisabury, yang lebih dikenal dengan panggilan Ad-Daqqaq. Pertemuan itu menyisakan kekaguman Al-Qusyairy pada peryataan-pernyataan Ad-Daqqaq. Perlahan, keinginannya mempelajari matermatika pun hilang. Ia pun memilih jalan tarekat dengan belajar dari Ad-Daqqaq. Berawal dari sinilah, Al-Qusyairy mengenal Tasawuf. Al-Daqqaq merupakan guru pertama Al-Qusyairy dalam bidang Tasawuf. Dari ia pula Al-Qusyairy mempelajari banyak hal, tidak hanya terbatas Tasawuf, tetapi juga ilmu-ilmu keislaman yang lain. Al-Qusyairy mampu memahami dengan baik semua pengetahuan yang diajarkan gurunya. Dari sinilah Ad-Daqqaq menyadari kemampuan intelektual Al-Qusyairy. Mungkin, hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong inisiatif Ad-Daqqaq untuk menikahkan putrinya, Fatimah dengan Al-Qusyairy.
Pernikahan
ini berlangsung pada antara tahun 405 – 412 H/1014 – 1021 M. Fatimah
merupakan wanita ahli sastra dan tekun beribadah. Dari pernikahan ini,
lahirlah enam putera dan satu puteri, yaitu; Abu Said Abdullah, Abu Said
Abdul Wahid, Abu Mansyur Abdurrahman, Abu Nashr Abdurrahim, Abu Fath
Ubaidillah, Abu Muzaffar Abdul Mun’im dan putri Amatul Karim. Disamping
berguru pada mertuanya, Imam Al-Qusyairy juga berguru pada para ulama
lain. Diantaranya, Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-Husain (325-412
H/936-1021 M), seorang sufi, penulis dan sejarawan. Al-Qusyairy juga
belajar fiqh pada Abu Bakr Muhammad ibn Abu Bakr at-Thusy (385-460
H/995-1067 M, belajar Ilmu Kalam dari Abu Bakr Muhammad ibn al-Husain,
seorang ulama ahli Ushul Fiqh. Ia juga belajar Ushuluddin pada Abu Ishaq
Ibrahim ibn Muhammad, ulama ahli Fiqh dan Ushul Fiqh. Al-Qusyairy pun
belajar Fiqh pada Abu Abbas ibn Syuraih, serta mempelajari Fiqh Mazhab
Syafi’i pada Abu Mansyur Abdul Qohir ibn Muhammad al-Ashfarayain.
Al-Qusyairy banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini ia menguasai doktrin Ahlusunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ary (w.935 M) dan para pengikutnya. Karena itu tidak mengherankan, kalau Kitab Risalatul Qusyairiyah yang merupakan karya monumentalnya dalam bidang Tasawuf -dan sering disebut sebagai salah satu referensi utama Tasawuf yang bercorak Sunni-, Al-Qusyairy cenderung mengembalikan Tasawuf ke dalam landasan Ahlusunnah Wal Jama’ah. Dia juga penentang keras doktrin-doktri aliran Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, Al-Qusyairy pernah mendekam dalam penjara selama sebulan lebih, atas perintah Taghrul Bek, karena hasutan seorang menteri yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu Nasr Muhammad ibn Mansyur al-Kunduri Perburuan terhadap para pemuka aliran Asy’ariyah itu berhenti dengan wafatnya Taghrul Bek pada tahun 1063 M. Penggantinya, Alp Arsalen (1063-1092 M), kemudian mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Khunduri. Kritik Terhadap Para Sufi Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Guru Besar Filsafat Islam dan Tasawuf pada Universitas Kairo, yang juga tokoh dan Ketua Perhimpunan Sufi Mesir (Robithah al-Shufihiyah al-Mishriyah) menulis, Imam Al-Qusyairy mengkritik para sufi aliran Syathahi yang mengungkapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan tentang terjadinya Hulul (penyatuan) antara sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat-sifat barunya, dengan Tuhan. Al-Qusyairy juga mengkritik kebiasaan para sufi pada masanya yang selalu mengenakan pakaian layaknya orang miskin. Ia menekankan kesehatan batin dengan perpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini lebih disukainya daripada penampilan lahiriah yang memberi kesan zuhud, tapi hatinya tidak demikian. (lihat, Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ilaa al-Tasawwuf al-Islam, cetakan ke-IV. Terbitan Dar al-Tsaqofah li an-Nasyr wa al-Tauzi, Kairo,1983).
Al-Qusyairy banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini ia menguasai doktrin Ahlusunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ary (w.935 M) dan para pengikutnya. Karena itu tidak mengherankan, kalau Kitab Risalatul Qusyairiyah yang merupakan karya monumentalnya dalam bidang Tasawuf -dan sering disebut sebagai salah satu referensi utama Tasawuf yang bercorak Sunni-, Al-Qusyairy cenderung mengembalikan Tasawuf ke dalam landasan Ahlusunnah Wal Jama’ah. Dia juga penentang keras doktrin-doktri aliran Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, Al-Qusyairy pernah mendekam dalam penjara selama sebulan lebih, atas perintah Taghrul Bek, karena hasutan seorang menteri yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu Nasr Muhammad ibn Mansyur al-Kunduri Perburuan terhadap para pemuka aliran Asy’ariyah itu berhenti dengan wafatnya Taghrul Bek pada tahun 1063 M. Penggantinya, Alp Arsalen (1063-1092 M), kemudian mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Khunduri. Kritik Terhadap Para Sufi Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Guru Besar Filsafat Islam dan Tasawuf pada Universitas Kairo, yang juga tokoh dan Ketua Perhimpunan Sufi Mesir (Robithah al-Shufihiyah al-Mishriyah) menulis, Imam Al-Qusyairy mengkritik para sufi aliran Syathahi yang mengungkapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan tentang terjadinya Hulul (penyatuan) antara sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat-sifat barunya, dengan Tuhan. Al-Qusyairy juga mengkritik kebiasaan para sufi pada masanya yang selalu mengenakan pakaian layaknya orang miskin. Ia menekankan kesehatan batin dengan perpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini lebih disukainya daripada penampilan lahiriah yang memberi kesan zuhud, tapi hatinya tidak demikian. (lihat, Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ilaa al-Tasawwuf al-Islam, cetakan ke-IV. Terbitan Dar al-Tsaqofah li an-Nasyr wa al-Tauzi, Kairo,1983).
Dari
sini dapat dipahami, Al-Qusyairy tidak mengharamkan kesenangan dunia,
selama hal itu tidak memalingkan manusia dari mengingat Allah. Beliau
tidak sependapat dengan para sufi yang mengharamkan sesuatu yang
sebenarnya tidak diharamkan agama. Karena itu Al-Qusyairy menyatakan,
penulisan karya monumentalnya Risalatul Qusyairiyah, termotinasi karena
dirinya merasa sedih melihat persoalan yang menimpah dunia Tasawwuf.
Namun dia tidak bermaksud menjelek-jelekkan seorang pun para sufi ketika
itu. Penulisan Risalah hanya sekadar pengobat keluhan atas persoalan
yang menimpa dunia Tasawuf kala itu Imam Al-Qusyairy merupakan ulama
yang ahli dalam banyak disiplin ilmu yang berkembang pada masanya, hal
ini terlihat dari karya-karya beliau, seperti yang tercantum pada
pembukaan Kitabnya Risalatul Qusyairiyah.
Karya-karya
itu adalah; Ahkaamu as-Syariah, kitab yang membahas masalah-masalah
Fiqh, Adaabu as-Shufiyyah, tentang Tasawuf, al-Arbauuna fil Hadis, kitab
ini berisi 40 buah hadis yang sanadnya tersambung dari gurunya Abi Ali
Ad-Daqqaq ke Rasulullah. Karya lainnya adalah; Kitab Istifaadatul
Muraadaats, Kitab Bulghatul Maqaashid fii al-Tasawwuf, Kitab at-Tahbir
fii Tadzkir, Kitab Tartiibu as-Suluuki fii Tariqillahi Ta’ala yang
merupakan kumpulan makalah beliau tentang Tasawwuf, Kitab At-Tauhidu
an-Nabawi, Kitab At-Taisir fi ‘Ulumi at-Tafsir atau lebih dikenal dengan
al-Tafsir al-Kabir. Ini merupakan buku pertama yang ia tulis, yang
penyusunannya selesai pada tahun 410 H/1019 M. Menurut Tajuddin
as-Syubkhi dan Jalaluddin as-Suyuthi, tafsir tersebut merupakan kitab
tafsir terbaik dan terjelas
Menurut Syuja’al-Hazaly, Imam Al-Qusyairy menutup usia di Naisabur pada pagi Hari Ahad, tanggal 16 Rabiul Awal 465 H/ 1073 M, dalam usia 87 tahun. Dikisahkan bahwa beliau mempunyai seekor kuda yang telah mengabdi padanya selama selama 20 tahun. Pada saat Al-Qusyairy wafat, kuda itu sangat sedih dan tidak mau makan selama dua minggu, hingga akhirnya ikut mati. Setelah Al-Qusyairy wafat, tak ada seorang pun yang berani memasuki perpustakaan pribadinya selama beberapa tahun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan bagi al-Imam Radiyallah Ta’ala ‘Anhu. Wallahu a’lam bi al-Showab.
Menurut Syuja’al-Hazaly, Imam Al-Qusyairy menutup usia di Naisabur pada pagi Hari Ahad, tanggal 16 Rabiul Awal 465 H/ 1073 M, dalam usia 87 tahun. Dikisahkan bahwa beliau mempunyai seekor kuda yang telah mengabdi padanya selama selama 20 tahun. Pada saat Al-Qusyairy wafat, kuda itu sangat sedih dan tidak mau makan selama dua minggu, hingga akhirnya ikut mati. Setelah Al-Qusyairy wafat, tak ada seorang pun yang berani memasuki perpustakaan pribadinya selama beberapa tahun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan bagi al-Imam Radiyallah Ta’ala ‘Anhu. Wallahu a’lam bi al-Showab.
3. C. Al-Harawi
Nama
lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad al-Ansari. Beliau
lahir tahun 396 H. di Heart, kawasan khurasan. Seperti dikatakan Louis
Massignon, dia adalah seorang faqih dari madzhab hambali; dan
karya-karyanya di bidang tasawuf dipandang amat bermut. Sebagai tokoh
sufi pada abad kelima Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya di atas
doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada yang memandangnya sebagai pengasas
gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal
dengan ungkapan-ungkapan yang anah, seperti al-Bustami dan al-Hallaj.
Di antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila Rabb al-`Alamin. Dalam dalam karyanya yang ringkas ini, dia menguraikan tingkatan-tingkatan rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para sufi tersebut, menurutnya, mempunyai awal dan akhir, seperti katanya; ”kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipaandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bias tegak kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keihklasan serta keikutannya terhadap al-Sunnah”.
Dalam kedudukannya sebagai seorangpenganut paham sunni, al-harawi melancarkan kritik terhadap para sufi yang terkenal dengan keanehan ucapan-ucapannya, sebagaimana katanya.
Dalam kaitannya dengan masalah ungkapan-ungkapan sufi yang aneh tersebut, al-Harwi berbicara tentang maqam ketenangan (sakinah). Maqam ketenangan timbul dari perasaan ridha yang aneh. Dia mengatakan: “peringkat ketiga (dari peringkat-peringkat ketenangan) adalah ketenagan yang timbul dari perasaan ridhaatas bagian yang diterimanya. Ketenangan tersebut bias mencegah ucapan aneh yang menyesatkan ; dan membuat orang yang mencapainya tegak pada batas tingkatannya. “yang dimaksud dengan ucapan dengan ucapan yang menyesatkan itu adalah seperti ungkapan-ungkapan yang diriwayatkan dari Abu yazid dan lain-lain. Berbeda dengan al-Jinaid, Sahl al-Tusturi dan lainnya; karena mereka ini memiliki ketenangan yang membuat mereka tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan yang anah. Karena itu dapat dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh tersebut timbul dari ketidak tenangan, sebab, seandainya ketenangan itu telah bersemi di kalbu, maka hal itu akan membuatnya terhindar dari mengucapkan ungkapan-ungkapan yang menyesatkan tersebut.
Kemudian yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi pada batas tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Tegasnya, di sekali-kali tidak melewati tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Ketenangan tersebut, menurut al-harawi, tidak di turunkan kecuali pada kalbu seorang nabi atau wali.
Di antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila Rabb al-`Alamin. Dalam dalam karyanya yang ringkas ini, dia menguraikan tingkatan-tingkatan rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para sufi tersebut, menurutnya, mempunyai awal dan akhir, seperti katanya; ”kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipaandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bias tegak kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keihklasan serta keikutannya terhadap al-Sunnah”.
Dalam kedudukannya sebagai seorangpenganut paham sunni, al-harawi melancarkan kritik terhadap para sufi yang terkenal dengan keanehan ucapan-ucapannya, sebagaimana katanya.
Dalam kaitannya dengan masalah ungkapan-ungkapan sufi yang aneh tersebut, al-Harwi berbicara tentang maqam ketenangan (sakinah). Maqam ketenangan timbul dari perasaan ridha yang aneh. Dia mengatakan: “peringkat ketiga (dari peringkat-peringkat ketenangan) adalah ketenagan yang timbul dari perasaan ridhaatas bagian yang diterimanya. Ketenangan tersebut bias mencegah ucapan aneh yang menyesatkan ; dan membuat orang yang mencapainya tegak pada batas tingkatannya. “yang dimaksud dengan ucapan dengan ucapan yang menyesatkan itu adalah seperti ungkapan-ungkapan yang diriwayatkan dari Abu yazid dan lain-lain. Berbeda dengan al-Jinaid, Sahl al-Tusturi dan lainnya; karena mereka ini memiliki ketenangan yang membuat mereka tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan yang anah. Karena itu dapat dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh tersebut timbul dari ketidak tenangan, sebab, seandainya ketenangan itu telah bersemi di kalbu, maka hal itu akan membuatnya terhindar dari mengucapkan ungkapan-ungkapan yang menyesatkan tersebut.
Kemudian yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi pada batas tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Tegasnya, di sekali-kali tidak melewati tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Ketenangan tersebut, menurut al-harawi, tidak di turunkan kecuali pada kalbu seorang nabi atau wali.