TASAWUF SUNNI, PEMIKIRAN DAN TOKOH-TOKOHNYA
5 September 2009
A. Aliran Tasawuf Sunni
Tasawuf sunni merupakan aliran tasawuf yang ajarannya berusaha memadukan
aspek syari’ah dan hakikat namun diberi interpertasi dan metode baru
yang belum dikenal pada masa salaf as-shalihin dan lebih mementingkan
cara-cara mendekatkan diri kepada Allah serta bagaimana cara menjauhkan
diri dari semua hal yang dapat menggangu kekhusyu’an jalannya ibadah
yang mereka lakukan. Aliran tasawuf ini memiliki ciri yang paling utama
yaitu kekuatan dan kekhusyu’annya beribadah kepada Allah, dzikrullah
serta konsekuen dan juga konsisten dalam sikap walaupun mereka diserang
dengan segala godaan kehidupan duniawi.
Dari awal prosesnya, corak tasawuf ini muncul dikarenakan
ketegangan-ketegangan dikalangan sufi, baik yang bersifat internal
maupun eksternal yaitu para sufi dan ulama’ zahir baik para fuqaha
maupun mutakallimin. Hal itu menyebabkan citra tasawuf menjadi jelek
dimata umat, maka sebagian tokoh sufi melakukan usaha-usaha untuk
mengmbalikan citra tasawuf. Usaha ini memperoleh kesempurnaan ditangan
Ghozali, yang kemudian melahirkan Tasawuf Sunni.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa asketisme (zuhud) itu adalah cikal
bakal timbulnya tasawuf. Sedangkan asketisme itu sendiri sumbernya
adalah ajaran Islam, baik yang bersumber dari Al-Qur’an, sunnah maupun
kehidupan sahabat nabi.
Pengertian umum dari Zuhud sendiri adalah Zuhhaad, jamak dari zahid.
Zahid diambil dari Zuhd yang artinya ”tidak ingin”. Tidak “demam” kepada
dunia, keemegahan, harta benda dan pangkat. Menurut Abu Yazid Busthami
ketika ditanya orang apa arti zuhud itu, beliau menjawab: tidak
mempunyai apa-apa dan tidak dipunyai apa-apa.
Gerakan asketisme itu sendiri dapat dibedakan menjadi 4 aliran utama;
1. Aliran Bashroh
Aliran Bashroh mulai Nampak pada abad kedua Hijriyah. Aliran ini muncul
dengan ciri khasnya yaitu, sikap asketisme yang sangat kuat dan lebih
ekstrim serta mengembangkan sikap yang amat takut terhadap murka Allah,
serta amat sangat takut terhadap siksa diakhirat. Pada periode inilah,
mulai meluas dan berkembangnya sufisme. Artinya konsep-konsep yang
tadinya semata-mata sebagai sikap hidup saja kemudian disusun sebagai
upaya untuk mencapai tujuan. Tokoh terpenting dari aliran ini. Antara
lain; Malik Ibnu Dinar dan Hassan Al-Bashri.
2. Aliran Madinah
Sejak masa permulaan Islam, di Madinah sudah terlihat kelompok-kelompok
asketis yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-sunnah dan
menempatkan rosulullah sebagai idola kezuhudan mereka. Ciri yang paling
utama di aliran ini adalah kekuatan dan kekhusyu’an beribadah kepada
Allah, konsekuen serta kensisten dalam sikap walaupun dating berbagai
godaan. Bagi mereka yang terpenting bagi mereka adalah mendepatkan diri
kepada Allah serta menjauhkan diri dari segala hal yang dapat mengurangi
kekhusyu’an beribadah kepada Allah. Tokohnya yang terkenal diantaranya
adalah Salman Al-Farisi dan Abdullah Ibnu Mas’ud.
3. Aliran Kuffah
Apabila kedua aliran diatas lebih mengarahkan perhatian kepada ibadah
dan menghindari pengaruh-pengaruh yang merusak. Maka, aliran Kuffah
lebih bercorak idealis. Gemar kepada hal-hal yang bersifat imajinatif
yang biasanya dituangkan dalam bentuk puisi, tekstualis dalam memahami
ketetapan dan sedikit cenderung kepada aliran syi’ah. Namun, secara
keseluruhan aliran ini masih berpola Ahlu sunnah wal jama’ah. Ciri khas
aliran ini yaitu rasa keagamaan yang kental, asketisme yang keras,
kerendahan hati dan kesederhanaan hidup. Tokohnya yang terkenal yaitu,
Shufyan Al-Tsauri.
4. Aliran Mesir
Aliran mesir memiliki kesamaan cirri dengan aliran madinah. Sebab aliran
ini sebenarnya adalah perluasan dari aliran madinah yang tersebar
melalui sahabat yang ikut serta ke Mesir pada saat Islam memasuki
kawasan itu. Tokohnya adalah Dzuu al-Nun al mishri.
Sulit dipastikan kapan asketisme itu beralih ke sufisme, tetapi yang
pasti sufisme yang awal adalah sufisme yang konsisten dan berpegang
teguh pada prinsip-prinsip Islam. Karena itu tasawuf tipe awal ini dapat
diterima sebagian besar ulama terutama ulama ahlu sunnah wal jama’ah.
Hal ini pula yang menyebabkan penamaan tasawuf sunni. Dari aliran-aliran
diatas dapat dilihat bahwa tokoh-tokoh aliran-aliran tersebut adalah
ahlu zuhud. Namun tidak setiap yang zuhud bias disebut sufi, tapi
sebaliknya tidak mungkin menjadi sufi tanpa melalui zuhud atau
asketisme.
B. Tokoh-tokoh Tasawuf Sunni
Munculnya aliran-aliran tasawuf ini tidak terlepas dari tokoh-tokoh yang
berperan di dalamnya. Begitu juga sama halnya dengan Tasawuf sunni.
Diantara sufi yang berpengaruh dari aliran-aliran tasawuf sunni dengan
antara lain sebagai berikut:
1. Hasan al-Basri
Hasan al-Basri adalah seorang sufi angkatan tabi’in, seorang yang sangat
taqwa, wara’ dan zahid. Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id al-Hasan ibn
Abi al-Hasan. Lahir di Madinah pada tahun 21 H tetapi dibesarkan di Wadi
al-Qura. Setahun sesudah perang Shiffin dia pindah ke Bashrah dan
menetap di sana sampai ia meninggal tahun 110 H. setelah ia menjadi
warga Bashrah, ia membuka pengajian disana karena keprihatinannya
melihat gaya hidup dan kehidupan masyarakat yang telah terpengaruh oleh
duniawi sebagai salah satu ekses dari kemakmuran ekonomi yang dicapai
negeri-negeri Islam pada masa itu. Garakan itulah yang menyebabkan Hasan
Basri kelak menjadi orang yang sangat berperan dalam pertumbuhan
kehidupan sufi di bashrah. Diantara ajarannya yang terpenting adalah
zuhud serta khauf dan raja’.
Dasar pendiriannya yang paling utama adalah zuhud terhadap kehidupan
duniawi sehingga ia menolak segala kesenangan dan kenikmatan duniawi.
Dr. Muh. Mustofa Helmi, guru besar filsafat Islam dalam “Fuad I
University” mengatakan kemungkinan bahwasanya zuhud Hasan al-Bashri yang
didasarkan kepada takut, ialah karena takut akan siksa Tuhan dalam
neraka. Hasan al-bashri mengumpamakan dunia ini seperti ular terasa
mulus kalau disentuh tangan tetapi racunnya dapat mematikan. Oleh karena
itu, dunia ini harus dijauhi serta kenikmatan hidup duniawi harus
ditolak. Dasar-dasar ajaran zuhud ini kemudian dikembangkan oleh
tokoh-tokoh tasawuf yang datang kemudian dengan beberapa perbedaan
sesuai dengan pengalaman serta kemampuan pribadi para sufi itu sendiri.
Diantaranya ada yang memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri,
tekun beribadah, berdzikir, merenungkan kebesaran tuhan, mencari
kelemahan diri, memikirkan dan memperhatikan keindahan alam semesta.
Prinsip kedua Hasan al-Bashri adalah al-khouf dan raja’. Dengan
pengertian merasa takut kepada siksa Allah karena berbuat dosa dan
sering melalakikan perintahNya. Serta menyadari kekurang sempurnaannya.
Oleh karena itu, prinsip ajaran ini adalah mengandung sikap kesiapan
untuk melakukan mawas diri atau muhasabah agar selalu memikirkan
kehidupan yang akan dating yaitu kehidupan yang hakiki dan abadi.
Hasan al-Bashri berkeyakinan bahwa perasaan takut atau khouf itu sama
dengan memetik amal sholeh. Katanya tidak seorang manusiapun yang tidak
pernah merasa takut dan keluh kesah. Kesimpulan dari ajaran Hasan
al-Bashri ialah zuhud atau menjauhi kehidupan duniawi sehingga perhatian
terpusat pada kehidupan dunia akhirat dan mawas diri dan selalu
memikirkan kehidupan ukhrowi adalah jalan yang akan menyampaikan
seseorang kepada kebahagiaan yang abadi.
Hasan al-Basri merupakan pribadi yang cemerlang dan suri tauladan yang
benar bagi akhlak luhur, setelah dalam kesucian dan kejernihannya.
Beliau selalu menyiarkan kemuliaan yang tinggi dengan petuahnya yang
berpengaruh dan ucapannya yang mantap, serta suluk-nya yang dijadikan
sebagai contoh. Meskipun begitu, Hasan al-Basri bukanlah seorang sufi,
dalam arti yang tepat pada kata shufi.
2. Rabiah Al-Adawiyah
Nama lengkapnya adalah Rabiah al-adawiyah binti ismail al Adawiyah al
Bashoriyah, juga digelari Ummu al-Khair. Ia lahir di Bashrah tahun 95 H,
disebut rabi’ah karena ia puteri ke empat dari anak-anak Ismail.
Diceritakan, bahwa sejak masa kanak-kanaknya dia telah hafal Al-Quran
dan sangat kuat beribadah serta hidup sederhana.
Ajaran terpenting dari sufi wanita ini adalah al-mahabbah dan bahkan
menurut menurut banyak pendapat, ia merupakan orang pertama yang
mengajarkan al-hubb dengan isi dan pengertian yang khas tasawuf. Hal ini
barangkali ada kaitannya dengan kodratnya sebagai wanita yang berhati
lembut dan penuh kasih, rasa estetika yang dalam berhadapan dengan
situasi yang ia hadapi pada masa itu. Cinta murni kepada Tuhan adalah
puncak ajarannya dalam tasawuf yang pada umumnya dituangkan melalui
syair-syair dan kalimat-kalimat puitis. Dari syair-syair berikut ini
dapat diungkap apa yang ia maksud dengan al-mahabbah:
Kasihku, hanya Engkau yang kucinta,
Pintu hatiku telah tertutup bagi selain-Mu,
Walau mata jasadku tak mampu melihat Engkau,
Namun mata hatiku memandang-Mu selalu.
Cinta kepada Allah adalah satu-satunya cinta menurutnya sehingga ia
tidak bersedia mambagi cintanya untuk yang lainnya. Seperti kata-katanya
“Cintaku kepada Allah telah menutup hatiku untuk mencintai selain Dia”.
Bahkan sewaktu ia ditanyai tentang cintanya kepad Rasulullah SAW, ia
menjawab: “Sebenarnya aku sangat mencintai Rasulullah, namun kecintaanku
pada al-Khaliq telah melupakanku untuk mencintai siapa saja selain
Dia”. Pernyataan ini dipertegas lagi olehnya lagi mealui syair berikut
ini: “Daku tenggelam dalam merenung kekasih jiwa, Sirna segalanya selain
Dia, Karena kekasih, sirna rasa benci dan murka”.
Bisa dikatakan, dengan al-hubb ia ingin memandang wajah Tuhan yang ia
rindu, ingin dibukakan tabir yang memisahkan dirinya dengan Tuhan.
Dalam riwayat yang lain juga disebutkan bahwa suatu ketika Rabi’ah
al-Adawiyah berkeluh-kesah sakit. Dan beberapa sufi menjenguknya, dan
Rabiah mengira bahwa sakitnya itu dikarenakan ghirah atau kecemburuan
Allah kepadanya, karena hati Rabiah pada saat itu tertarik akan surga.
3. Dzu Al-Nun Al-Misri
Nama lengkapnya adalah Abu al-Faidi Tsauban bin Ibrahim Dzu al-Nun
al-Mishri al-Akhimini Qibthy. Ia dilahirkan di Akhmin daerah Mesir.
Sedikit sekali yang dapat diketahui tentang silsilah keturunan dan
riwayat pendidikannya karena masih banyak orang yang belum mengungkapkan
masalah ini. Namun demikian telah disebut-sebut oleh orang banyak
sebagai seorang sufi yang tersohor dan tekemuka diantara sufi-sufi
lainnya pada abad 3 Hijriah.
Sebagia seorang ahli tasawuf, Dzu al-Nun memandang bahwa ulama-ulama
Hadits dan Fiqih memberikan ilmunya kepada masyarakat sebagai salah satu
hal yang menarik keduniaan disamping sebagai obor bagi agama. Pandangan
hidupnya yang cukup sensitif barangkali yang menyebabkan banyak yang
menentangnya. Tidak sampai di situ, bahkan para Fuqaha mengadukannya
kepada ulama Mesir yang menuduhnya sebagai orang yang zindiq, sampai
pada akhirnya dia sampai memutuskan untuk sementara waktu pergi dari
negerinya dan berkelana ke negeri lain. Namun sekembalinya dari
perkelanaan tersebut, orang banyak tetap menuduhnya sebagai seorang yang
zindiq. Bahkan orang-orang menuruhnya untuk pergi ke Baghdad menemui
khalifahuntuk menerima pengadilan.
Akan tetapi di Baghdad ada banyak sufi yang berasal dari mesir dan
diantara mereka ada yang bekerja sebagai pegawai di lingkungan istana,
dan merekalah yang mengusahakan kebebasan Dzu al-Nun tersebut. Ternyata
kemudian ajarannya diterima di Baghdad. Sekembalinya di Mesir, ia
kembali mengjarkan ajaran tasawufnya dan semenjak itu pula tasawuf
berkembang dengan pesat di kawasan mesir.
Jasa-jasa Dzu al-Nun yang paling besar adalah sebagai peletak dasar
tentang jenjang perjalanan sufi menuju Allah, yang disebut al-maqomat.
Ajarannya member petunjuk arah jalan menuju kedekatan dengan Allah
sesuai dengan pandangan sufi.
Disamping itu, dia juga pelopor doktrin al-makrifah. Dalam hal ini ia
membedakan antara pengetahuan dengan keyakinan. Menurutnya, pengetahuan
merupakan hasil pengamatan inderawi, yaitu apa yang ia dapat diterima
melalui panca indera. Sedangkan keyakinan adalah hasil dari apa yang
dipikirkan dan / atau diperoleh melalui intuisi.
Dia membagi tiga kualitas pengetahuan, yaitu:
1. Pengetahuan orang yang beriman tentang Allah pada umumnya, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pengakuan atau syahadat.
2. Pengetahuan tentang keesaan Tuhan melalui bukti-bukti dan
pendemonstrasian ilmiah dan hal ini merupakan milik orang-orangyang
bijak, pintar dan terpelajar.
3. Pengetahuan tentang sifat-sifat Yang Maha Esa, dan ini merupakan
milik orang-orang yang shaleh (wali Allah) yang dapat mengenal wajah
Allah dengan mata hatinya.
Ketika Dzu al-Nun ditanya tentang bagaimana ia mengenal Tuhan, maka dia
menjawab: “Aku mengenal Tuhan karena Tuhan sendiri, kalau bukan karena
Tuhan, aku tidak akan mengenal Tuhan”
Dzu al-Nun menerangkan, bahwa cirri-ciri makrifat itu ialah seseorang
menerima segala sesuatu itu adalah atas nama Allah dan memutuskan segala
sesuatu itu dengan menyerahkan kepada Allah, serta menyenangi segala
sesuatu hanya semata-mata karena Allah.
Ucapan hikmah lain dari Dzu al-Nun al-Mishri adalah: “Pangkal
pembicaraan pada empat hal: Mencintai Allah Yang Maha Agung, membenci
kekikiran, mengikuti Al-Qur’an, dan takut berubah.”
Dzun al-Nun al-Mishri Rahimahumullah pun pernah berkata, “Al-Hikmah
tidak akan pernah tinggal pada seseorang yang pada perutnya penuh dengan
makanan.” Pernah juga ditanya tentang tobat, lalu dijawab, “Tobat orang
awam adalah perbuatan dosa, sedangkan tobat orang khusus dari
kelengahan.”
4. Abu Hamid Al-Ghazali
Menurut Abu al-Wafa’ al-Ganimi al-Taftazani, ada dua corak tasawuf yang
berkembang di kalangan sufi, yaitu pertama, corak tasawuf sunni, di mana
para pengikutnya memagari tasawuf mereka dengan Alquran dan as-Sunnah
serta mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah mereka dengan keduanya.
Kedua, corak tasawuf semi-filosofis, di mana para pengikutnya cenderung
pada ungkapan-ungkapan ganjil (syathahat) serta bertolak dari keadaan
fana menuju pernyataan tentang terhadinya penyatuan ataupun hulul.
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Simuh dengan menggunakan istilah
yang berbeda. Simuh menyatakan bahwa pada dua corak tasawuf yaitu union
mistik dan personal/transendentalis mistik. Union mistik yaitu suatu
corak tasawuf yang memandang manusia bersumber dari Tuhan dan dapat
mencapai penghayatan kesatuan kembali dengan Tuhannya. Sedangkan
personal/transendentalis mistik yaitu suatu corak tasawuf yang
menekankan aspek personal bagi manusia dan Tuhan. Pada paham ini
hubungan manusia dengan Tuhan dilukiskan sebagai hubungan antara makhluk
dengan khalik
Dari dua corak tasawuf tersebut, menurut Abdul Qadir Mahmud, al-Gazali
masuk pada kelompok yang memiliki corak tasawuf sunni, bahkan di tangan
al-Gazali lah tasawuf sunni mencpai kematangannya.
Mahmud berpendapat, para pemimpin sunni pertama telah menunjukkan
ketegaran mereka menghadapi gelombang pengaruh gnostik barat dan timur,
dengan berpegang teguh pada spirit Islam, yang tidak mengingkari sufisme
yang tumbuh dari tuntunan Alquran, yang membawa syariat, juga yang
menyuguhkan masalah-masalah metafisika. Mereka mampu merumuskan sufisme
yang islami dan mampu bertahan terhadap pelbagai fitnah yang merongrong
aqidah Islam di kalangan sufirme. Sufisme sunni akhirnya beruntung
mendapatkan seorang tokoh pembenteng dan pengawal bagi spirit metode
Islami yaitu al-Gazali, yang menempatkan syariat dan hakikat secara
seimbang.
Di tangan al-Gazali tasawuf menjadi halal bagi kaum syariat, sesudah
kaum ulama memandangnya sebagai hal yang menyeleweng dari Islam.
Konsepsi al-Gazali yang mengkompromikan antara pengalaman sufisme dengan
syariat telah dijelaskan di dalam kitabnya yang terkenal yaitu Ihya
Ulumuddin. Karya besar ini terdiri dari 4 jilid. Jilid pertama dan kedua
berisi ajaran syariat dan aqidah disertai dasar-dasar ayat-ayat suci
Alquran serta hadis dan penafsirannya. Dibahas pula bagaimana
tingkat-tingkat pengamalan syariat yang sempurna lahir batin.
Pada jilid ketiga dan keempat, khusus membahas tasawuf dan tuntunan budi
luhur bagi kesempurnaan sebuah pengamalan syariat. Dimulai dengan
membahas keajaiban hati beserta nafsu-nafsu, amarah, lawwamah dan
mutmainnah yang ketiganya saling berebut untuk menguasai batin manusia.
Kemudian dilanjutkan tantang ajaran jihad akbar untuk memerangi dan
menguasai nafsu amarah dan lawwamah, yakni ajaran tentang penyucian hati
yang dalam ajaran tasawuf diartikan memutuskan setiap persangkutan
dengan dunia, dan mengisi dengan sepenuh hati hanya bagi Tuhan semata.
Kemudian dilanjutkan tentang cara mengkonsentrasikan seluruh kesadaran
untuk berzikir kepada Allah. Hasil dari zikir adalah fana dan ma’rifat
kepada Allah.
Dengan demikian, corak tasawuf al-Gazali lebih menekankan pada aspek pendidikan moralitas bagi para pencari kebenaran.
4.1 Maqamat-maqamat dalam Tasawuf al-Gazali
Maqamat-maqamat yang diajarkan oleh al-Gazali terdapat di dalam kitabnya
Ihya Ulumuddin, khususnya juz IV. Di dalam bagian tersebut diuraikan
secara berturut-turut sebagai berikut: Kitab al-Taubah, Kitab al-Sabr wa
al-Syukr, Kitab al-Khauf wa al-Raja, Kitab al-Faqr wa al-Zuhd, Kitab
Tauhid wa al-Tawakkal, Kitab al-Mahabbah wa al-Syauq qa al-Uns wa
al-Ridha, Kitab al-Niyyah wa al-Ikhlas wa al-Sidq, Kitab al-Muqarabah wa
al-Muhasabah, Kitab al-Tafakkur, dan Kitab Zikr al-Maut wa Ba’dah.
Maqamat-maqamat ini menjelaskan beberapa point yang dianggap penting
untuk memahami konsep tasawuf yang diajarkan oleh al-Gazali, di
antaranya: Konsep taubat, zuhud, tawakkal, dan ma’rifah.
a. Taubat
Pemahaman tentang taubat, menurut al-Gazali mencakup tiga hal: Ilmu,
sikap (hal), dan tindakan. Ilmu adalah pengetahuan seseorang tentang
bahawa yang diakibatkan dosa besar. Pengetahuan itu melahirkan sikap
sedih dan menyesal, yang melahirkan tindakan untuk bertaubat. Tobat
harus dilakukan dengan kesadaran hati yang penuh dan berjanji pada diri
seindiri untuk tidak mengulangi perbuatan dosa.
b. Zuhud
Dalam keadaan ini seorang calon sufi harus meninggalkan kesenangan
duniawi dan hanya mengharapkan kesenangan ukhrawi. Al-Gazali membagi
tingkatan zuhud dari segi tingkatan motivasi yang mendorongnya kepada
tiga tingkatan:
Zuhud yang didorong oleh rasa takut terhadap api neraka dan yang
semacamnya. Zuhud dalam tingkatan ini adalah zuhudnya orang-orang
pengecut.
Zuhud yang didorong oleh motif mencari kenikmatan hidup di akhirat.
Zuhud dalam tingkatan ini adalah zuhudnya orang-orang yang
berpengharapan, yang hubungannya dengan Allah diikat oleh ikatan
pengharapan dan cinta, bukan ikatan takut.
Zuhud yang didorong oleh keinginan untuk melepaskan diri dari
memperhatikan apa saja selain Allah dalam rangka membersihkan diri
daripadanya dan menganggap remeh terhadap apa yang selain Allah. Zuhud
dalam tingkatan inilah yang merupakan sikap zuhud para arifin.
c. Tawakal
Tawakal dalam tasawuf diartikan berserah diri kepada kehendak Tuhan
seperti halnya mayat di depan orang yang memandikannya. Tawakal dalam
pengertian tasawuf adalah suatu syarat mutlak sebagai tangga memutuskan
segala ikatan dengan dunia secara total dan final. Tanpa jiwa tawakal
seperti itu, hati tidak akan terbebas dari belenggu.
Menurut al-Gazali, sikap tawakal lahir dari keyakinan yang teguh akan
kemahakuasaan Allah sebagai pencipta. Dia berkuasa melakukan apa saja
terhadap manusia. Walaupun demikian, harus pula diyakini bahwa Dia juga
Maha Rahman, Maha Pengasih, tak pilih kasih pada makhluknya. Karena itu,
manusia seharusnya berserah diri kepada Tuhannya dengan sepenuh hati.
d. Ma’rifah
Ma’rifah (gnosis) secara umum diartikan sebagai ilmu atau pengetahuan
yang diperoleh melalui akal. Sedangkan menurut tasawuf, ma’rifah berarti
mengetahui Allah Swt dari dekat. Bagi al-Gazali, ma’rifah bukan hanya
diartikan melihat Tuhan, tetapi juga mengetahui rahasia Allah dan
mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.
Ma’rifah pada Allah bukan merupakan ilmu yang dapat ditangkap dengan
panca indera dan akal pikiran, tetapi merupakan suatu pengalaman dan
penghayatan yang bersifat langsung. Alat yang digunakan untuk
mendapatkan ma’rifah adalah qalbu. Menurut al-Gazali, qalbu bagaikan
cermin. Sementara ilmu adalah pantulan gambar realitas yang terdapat di
dalamnya. Jelasnya, jika cermin qalbu tidak bening, maka ia tidak dapat
memantulkan realitas-realitas ilmu. Adapun penyebab qalbu tidak bening
adalah hawa nafsu, maka untuk mendapatkan hati yang bening, seorang sufi
harus berpaling dari hawa nafsu.
Memperoleh ma’rifah merupakan proses yang bersifat terus menerus. Makin
banyak seorang sufi memperoleh ma’rifah, makin banyak pula yang
diketahuinya tentang rahasia Tuhan dan semakin dekatlah ia kepada-Nya.
Proses yang dilakukan oleh seorang sufi untuk memperoleh ma’rifah yaitu
dengan cara riyadhah dan mujahadah dalam beribadah. Keterikatan am’rifah
dengan amal (ibadah) inilah yang membedakan konsepsi ma’rifah al-Gazali
dengan konsepsi ma’rifah Abu Yazid al-Bustami, yang menganggap
ketekunan dalam ibadah sebagai pertanda tidak layaknya orang memperoleh
ma’rifah dari Tuhan.
Selanjutnya, al-Gazali menjelaskan bahwa ma’rifah ini menimbulkan
mahabbah (mencintai Tuhan), dan mahabbah baginya bukan mahabbah sebagai
yang diucapkan Rabi’ah al-Adawiyah, tetapi mahabbah dalam bentuk cinta
seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari
kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rizki,
kesenangan dan lain-lain.
Kadar mahabbadh seorang sufi ditentukan oleh kedalaman ma’rifah yang
dimilikinya. Semakin kuat ma’rifahnya, semakin kuat mahabbahnya. Menurut
al-Gazali ma’rifah dan mahabbah adalah derajat tertinggi yang dapat
dicapai seorang sufi.
Generasi
pertama sampai generasi kelima, berjumlah 100 tokoh Sufi, masung-masing
generasi terdiri 20 tokoh: Generasi pertama : Al-Fudhail bin ‘Iyadh
,Dzun-Nun, al-mishry,Ibrahim bin Adam, Bisyr Al-Harfy, Sary As-Saqathy,
Al-harits Al-muhasiby, Syaqiq al-Balqhy, Abu yazid al-Busthomy, Abu
Sulaiman ad-Darany, Ma’ruf al-Karky, Hatim al-Asham , Ahmad bin
Hadrawary, Yahya bin Mu’adz ar-Razy , Abu Hafsan-Naisyabury, Hamdun
al-Qashar, Manshur bin Ammar , Ahmad bin Ashim al-Anthaky, Abdullah bin
Khubaik al-Anthaky, dan Abu Turab an-Nakhsyaby.
Generasi kedua :
Abul Qasim al-Junaid, Abul husayn an-Nury, Abu Utsman al-Hiry
an-Naysabury, Abu Abdullah ibnu jalla, Ruwaim bin Ahmad al-Baghdady,
Yusuf bin Ibnul Husain ar-Razy, Syah al-Kirmani , Samnun bin Hamzah
al-Muhibb, Amr bin Utsman al-makky, Sahl bin Abdullah at-Tustary,
Muhammad bin Fadhl al-balkhy, Muhammad bin Ali at-Turmudzy, Abu Bakar
al-Warraq,Abu Sa’id al-Kharraz, Ali bin Sahl al-Ashbahany, Abul Abbas
bin Masruq ath-thusy, Abu Abdullah al-Maghriby, Abu Ali az-Zujajany,
Muhammad dan Ahmad,kedua putra AbulWard, Abu Abdullah as-Sijzy.
Generasi ketiga :
Abu Muhammad al-Jurairy, Abul Abbas bin Atha’ al-Adamy, Mahfud bin
Mahmud an-Naysabury, Thahir al-Muqaddasy, Abu Amr ad-Dimasyqy, Abu Bakr
bin Hamidat-Turmudzy,Abu Ishaq Ibrahim al-Khawash, Abdullah bin Muhammad
al-Kharraz ar-Razy, Bunan bin Muhammad al-Jamal, Abu Hamzah al-Baghdady
al-Bazzaz, Abul Husayn al-Waraq an-Naysaburi, Abu Bakr
al-Wasithy,al-Husayny bin Mashur al-Hallaj, Abul Husainy bin as-Shaigh
ad-Dainury Mumsyadz ad-Dinawary Ibrahim al-Qashshar, Khairun Nasaj, Abu
Hanzah al-Kurasany, Abu Abdullah ash-Shubaihy, Abu Ja’far bin Sinan.
Generasi keempat :
Abu Bakr asy-Syibly , Abu Muhammad al-Murtaisy, Abu Ali ar-Rudzbary,
Abu Ali ats-tsaqafi Abdullah bin Muhammad bin Manazil, Abul Khair
al-Aqtha’ at-Tinaty, Abu Bakr al-Kattany, Abu Ya’kub an-Nahrajury Abul
Hasan al-Muzayyin, Abul ali Ibnul Katib, Abul Husayn bin Banan, Abu Bakr
bin Thahir al-Abhury,Mudzaffar al-Qurminisainy, Abu Bakr bin
Yazdaniyaz, Abu Ishaq Ibrahim Ibnul Maulid, Abu Abdullah bin Alyan
an-Nasyawy, Abu Bakr bin Abi Sa’dan.
Generasi kelima:
Abu
Sa’id ibnul A’raby, Abu Amr az-Zujajy, Ja’far bin Muhammad al-Khuldy ,
Abul Abbas al-Qasim as-Sayyary, Abu Bakr Muhammad bin Dawud ad-Duqqy,
Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad asy-Sya’any, Abu Amr Ismail bin
Nujaid , Abul Hasan Ali bin Ahmad al-Busyanjy, Abu Abdullah Muhammad bin
Khafif, Bundar ibnu Husayn as-Syirazy, Abu Bakr at-Timistany, Abul
Abbas Ahmad bin Muhammad ad-Dainury, Abu Utsman Sa’id bin Salman
al-Maghriby, Abul Qasim Ibrahim bin Muhammad an-Nashruabadzy, Abul Hasan
Ali bin Ibrahim al-Hushry, Abu Abdullah at-Targhundy, Abul Hasan Ali
bin Bundar ash-Syairafy, Abu Bakr Muhammad bin Ahmad asy-Syabahy, Abu
BakrMuhammad bin Ahmad al-Farra’, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad
al-Muqry, Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad ar-Rasy, Abu Abdullah
Muhammad bin Abdul Khaliq ad-Dinawary.
Setelah periode
As-Sulamy muncul beberapa sufi seperti Abul Qasim al-Qusayry, disusul
prestasi puncak pada Abu Hamid Al-Ghazali (yang bergelar Hujjatul Islam
), kemudian Syaikh Abdul Qadir al- Jailany,Ibnul Araby , dan Sulthanul
A’uliya’Syaikh Abul Hasan Asyadzily.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar